Angklung adalah salah satu alat musik tradisional warisan
nusantara yang dikembangkan oleh para leluhur kita di masa lalu. Sebagai
bangsa indonesia, kita sudah sepatutnya kaya bahwa negara kita penuh
dengan warisan budaya yang begitu kaya dan kini warga negara asing pun
banyak yang tertarik untuk mempelajari musik angklung.
Alat musik angklung adalah alat musik tradisional yang terbuat
dari bambu dan didesain sedemikian rupa oleh penciptanya untuk
menghasilkan suara yang indah dan enak untuk didengar. Nada yang dapat
dimainkan oleh angklung sangat beragam, selain itu alat musik angklung
dapat dikolaborasikan pula dengan aransemen musik yang lain.
Kini, alat
musik angklung telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Pengakuan ini sangatlah dirasa penting bagi Indonesia karena berguna
untuk menghindari pengakuan bangsa lain atas khasanah budaya bangsa yang
kita miliki.
Dalam wikipedia, dijelaskan bahwa angklung adalah alat musik
tradisional yang pertama kali berkembang pada masyarakat berbahasa sunda
di Jawa Barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara
digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada
dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai
Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Non Bendawi Manusia dari Unesco
sejak November 2010.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad
ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti
angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris
dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
MasyarakatBaduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor,
adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut
adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada
(laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah
(wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan sunda,
di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada
masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat
melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat
popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada
waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang
bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik
bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat
pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama
pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran,
bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang
serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1996 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Kini, sebagai penghormatan pada budaya bangsa, untuk kesekian
kalinya SMP laboratorium UPI kembali menghadirkan La Bamboos 2012
sebagai ajang menunjukkan keahlian dalam memainkan musik angklung.
Melalui event ini diharapkan bahwa generasi muda akan semakin tinggi
tingkat apresiasi nya terhadap musik tradisional warisan nenek moyang
kita sendiri.
No comments:
Post a Comment